Kelor si Pohon Kehidupan
“Dunia tak selebar daun kelor”
Peribahasa ini kadang dilontarkan untuk memberi nasihat kepada seseorang agar tidak berputus asa. Terlepas dari peribahasa populer itu, sebetulnya keberadaan pohon ini memang memberi banyak harapan bagi kehidupan.
Tengok saja beragam label disematkan pada pohon dengan nama ilmiah Moringa oleifera ini. Mulai dari “The Miracle Tree”, “Superfood”, Pohon Kehidupan, hingga penangkal ilmu hitam.
Tanaman ini berasal dari kaki Himalaya di Asia Selatan, namun tumbuh subur juga di banyak daerah tropis, termasuk Indonesia. Hebatnya tanaman ini bisa tumbuh di berbagai iklim di Indonesia. Dan meski ukuran daunnya mungil, kandungan nutrisi di dalamnya sangat luar biasa!
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam International Journal of Phytotherapy Research, menyebut, daun kelor kering mengandung tujuh kali lipat Vitamin C daripada jeruk, sembilan kali lebih banyak protein daripada yoghurt, 10 kali lebih banyak Vitamin A daripada wortel dan 15 kali kalium daripada pisang. Daun kelor juga diperkirakan mengandung kalsium 17 kali lebih banyak daripada susu dan zat besi 25 kali lebih banyak daripada bayam.
Upaya untuk melestarikan dan mempopulerkan pemanfaatan daun kelor salah satunya dilakukan oleh seorang dokter kandungan bernama Andre Hartanto. Ketika berpraktik di daerah Kupang tahun 2016, dia menemukan kasus stunting di NTT cukup memprihatinkan. Andre dan istrinya, Herawati Lianto yang juga merupakan seorang dokter, memutuskan untuk meriset daun kelor yang banyak tumbuh di kawasan itu.
Dari hasil riset diketahui, daun kelor memiliki kandungan protein, kalsium, dan zat besi yang tinggi. Bahkan, jauh melampaui bahan makanan umum seperti yoghurt, susu, dan pisang. Pasangan ini kemudian meramu daun kelor untuk dijadikan aneka camilan dan mulai merintis bisnis makanan berbahan dasar daun kelor sejak tahun 2019 dengan mendirikan restoran La Moringa.
Petani kelor di Nusa Tenggara Timur sedang menyiapkan daun keloruntuk bahan baku restoran La Moringa.
(Dokumentasi La Moringa)
Perwakilan dari La Moringa Jakarta, Dhifa Nabila berbagi cerita kepada food anthropologist sekaligus host Planet Plate Season 2, Seto Nurseto. Ia menyebutkan, kedua pendiri La Moringa bermimpi untuk mentransformasi daun kelor menjadi bahan masakan bernilai tinggi, dan juga meningkatkan kesejahteraan petani kelor di NTT.
Marketing dari La Moringa Jakarta, Dhifa Nabila dan food anthropologist sekaligus host Planet Plate Season 2, Seto Nurseto
seusai memasak Sayur Lik-Lik Daun Kelor. (KBR/Hafizh Dhiyaulhaq)
“Daun kelor nggak susah ditemukannya. Banyak banget daun kelor bahkan didiamkan di pekarangan saja. Di La Moringa, kita sudah tanam daun kelor di 23 kabupaten seprovinsi NTT. Secara untuk produksi daun kelor, kita sudah bisa produksi sendiri,” ujar Dhifa sambil mengolah resep Sayur Lik-Lik Daun Kelor bersama Seto, Februari 2025 lalu.
Dhifa menjelaskan, masih ada stigma bahwa makanan sehat seperti daun kelor itu rasanya tidak enak. Jika pergi ke La Moringa, Sobat Planet bisa melihat makanan internasional seperti english breakfast dipadukan dengan daun kelor, hingga makanan khas NTT, tumis kelor bunga pepaya. Dengan pendekatan ini, La Moringa berharap masyarakat jadi lebih tertarik menyicip daun kelor.
Sayur Lik-Lik Daun Kelor. (KBR/Hafizh Dhiyaulhaq)
“Kalau sudah diolah dengan tepat seperti La Moringa, dia (daun kelor) jadi lebih enak. Bahkan bisa jadi substitusi makanan sehari-hari kita. Kalau dikonsumsi oleh anak-anak dan ibu hamil, itu bisa mencegah stunting,” papar Dhifa sambil memperkenalkan olahan daun kelor dalam bubuk yang menyerupai matcha.
Bubuk moringa. (Dokumentasi La Moringa)
“Secara tekstur mungkin dia mirip ya, tetapi secara warna, moringa jauh lebih pekat warnanya dibanding matcha. Bubuknya bisa diseduh, bisa dijadikan teh, bisa dibahanbakukan jadi campuran di dalam nasi. Bahkan kita punya menu smoothies moringa,” jelas Dhifa.
Meski berpusat di Kupang, NTT, La Moringa membuka cabang di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Di sana, banyak pendatang yang punya keingintahuan mendalam soal daun kelor. Hal ini menunjukkan secara perlahan masyarakat semakin terpapar oleh olahan daun kelor, begitupun dengan rasa dan manfaatnya bagi kesehatan.
Restoran La Moringa di Kemang, Jakarta Selatan. (Dokumentasi La Moringa)
“Banyak yang suka bertanya, apalagi karena kita menaruh daun kelor bukan cuma pada makanan berat, tapi dessert juga. Salah satunya di gelato. Mereka tuh suka kepo aja sih sama gelato-gelato kita, kok bisa sih diolah seperti ini dan nggak ada rasa aneh atau pahit,” ucap Dhifa.
La Moringa juga menjual produk jadi berbahan daun kelor, contohnya teh tetes (drip tea) kelor yang sempat menjadi perbincangan karena komika Raditya Dika menceritakan efek relaksasi setelah mengonsumsinya. Dhifa pun optimis bahwa daun kelor bisa sepopuler daun-daunan lain, seperti kangkung dan bayam.
“Optimis banget, daun kelor ini sama aja dengan tumbuhan yang lainnya. Perbedaannya hanya di dalam nutrisi yang udah ada. PR kami bersama adalah nge-rebranding si daun kelor ini,” tutup Dhifa.