Dari Swamening Kita Melihat Realita Hutan Papua Hari ini Bagi masyarakat Papua, sagu adalah budaya turun-temurun, sistem kepercayaan, dan makanan pokok yang dikonsumsi sejak ribuan tahun lalu. Kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Jayapura tahun 2018 memaparkan luas hutan sagu di enam distrik Jayapura mencapai 3.302,9 hektare, dan 2.000 hektare di antaranya ada di Sentani. Namun lahan sagu tersebut banyak dialihfungsikan, salah satunya untuk perkebunan kelapa sawit. Ratusan hektar hutan Lembah Grime Nawa, Kab. Jayapura, Papua dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. (Greenpeace) Dalam serial Planet Plate episode ke empat, Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid berbagi cerita soal kondisi hutan Papua kepada Chef Aziz Amri. Perempuan yang akrab disapa Alin itu mengatakan alihfungsi hutan Papua jadi perkebunan kelapa sawit sama saja dengan mematikan sumber kehidupan masyarakat Papua. “Papua itu benteng terakhir dari hutan di Indonesia dan terancam dengan perkebunan besar kelapa sawit. Masyarakat adat di sana kan sumber kehidupannya mengandalkan dari hutan dan kemudian itu yang beralih fungsinya, mengancam sumber pangan masyarakat adat Papua,” ujar Alin. Alin bersama Chef Aziz Amri setelah memasak swamening. (KBR Media) Alin menyebut alih fungsi hutan dan lahan di Papua selama ini dilakukan tanpa menerapkan Free, Prior and Informed Consent (FPIC).  Padahal masyarakat adat Papua berhak menolak atau memberi izin terhadap kegiatan apapun yang mempengaruhi lahan milik mereka. “Sebenarnya kan masyarakat adat perlu tahu ini perusahaan apa sih, dampak bagusnya apa kalau memang ada dampak bagusnya, dampak buruknya apa, kemudian pada akhirnya ini kan tanah, apalagi di Papua, jadi ini di seluruh wilayah Papua, itu adalah wilayah atau tanah adat,” sebut Alin. Hingga kini, sagu masih banyak dikonsumsi di Papua. Sayangnya politik beras menciptakan stigma tertentu pada sagu, bahwa jika tidak makan nasi disebut tidak modern, tidak mengenyangkan. Hal ini seakan-akan memaksa warga Papua untuk menyeragamkan pangan mereka dan meninggalkan sagu. Ironis, ketika melihat produksi sagu lebih tinggi dibandingkan demand konsumsinya. Swamening, salah satu olahan sagu, makanan khas masyarakat adat Lembah Grime Nawa. (KBR Media) Dari perspektif krisis iklim, kita semua dituntut untuk mulai memikirkan alternatif pangan pengganti beras. Produksi beras kian menurun akibat kemarau yang berkepanjangan. Di lain sisi, sejumlah daerah di Indonesia juga dilanda banjir besar yang menyebabkan lumbung beras terendam. Demi menjaga ketahanan pangan, baik pemerintah maupun masyarakat perlu melestarikan pangan lokal di masing-masing daerah, termasuk sagu di Papua.  ““Harusnya pemerintah melihat keragaman pangan ini sebagai sebuah kekayaan yang seharusnya dijaga ya. Misalnya karena krisis iklim, kita juga tantangannya akan menghadapi krisis pangan. Dengan keberagaman pangan, kita nggak perlu khawatir,” kata Alin. Sagu terbukti bisa tetap tumbuh di tengah perubahan iklim dan cuaca. Pohon sagu mampu tumbuh saat banjir maupun kekeringan. Sagu bisa saja menjadi penyelamat ketahanan pangan Indonesia yang sedang terancam. Maka dari itu, hutan sagu di Papua memegang peran yang krusial untuk masa depan dan kita harus menjaganya supaya tidak dirampas tangan-tangan yang tak berhak. “Hutan sagu di Papua itu kayak supermarket bagi masyarakat adat. Kalau sagu di Papua hilang artinya mama-mama di Papua juga akan kehilangan sumber pangan mereka, pengetahuan mereka, bahkan juga menghilangkan kebudayaan masyarakat adat di Papua,” tegas Alin.  *** Dengarkan podcast Planet Plate episode Swamening bersama Chef Aziz Amri dan Public Engagement and Action Manager Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid di sini. Kamu juga bisa ikut memasak ulang dengan mengikuti panduan resep ini. Kamu juga bisa mengirimkan foto dan cerita pengalaman hasil memasak resep ini ke sini.

Krisis Iklim dan Nasib Jamur Cantik Khas Pulau Bangka Memanasnya suhu bumi membuat jamur pelawan yang langka, semakin sulit ditemukan. Jamur pelawan adalah jenis jamur yang tumbuh di antara pohon Pelawan, di Pulau Bangka, Bangka Belitung. Bentuk jamur ini sangatlah cantik dengan mahkota berwarna merah muda merona. Kelezatan rasanya saat dimasak pun menjadi alasan jamur ini dicari-cari ketika ada. Jamur pelawan di habitatnya, Pulau Bangka, Bangka Belitung. (Meggi R. Purnama) Masyarakat lokal mempercayai bahwa jamur pelawan tumbuh sehabis disambar petir. Para peneliti masih mencari tahu kebenarannya dari sisi ilmiah, tetapi mereka menggarisbawahi fakta jamur pelawan yang hanya bisa tumbuh di area tertentu, yaitu Pulau Bangka dan Belitung. Kelangkaan ini menjadi faktor utama harga jamur pelawan mampu mencapai jutaan rupiah per kilogram. Jamur pelawan kerap disandingi dengan jamur truffle dari Prancis karena harganya yang sama-sama tinggi. Tapi, jamur pelawan kalah eksis dengan truffle. Malika, jurnalis KBR Media, menjelaskan kepada Chef Aziz Amri di podcast Planet Plate tentang pentingnya melestarikan bahan pangan lokal di tengah krisis iklim yang melanda.   Jurnalis KBR Media, Malika dengan Chef Aziz Amri seusai memasak lempah kulat pelawan. (KBR/Hafizh Dhiyaulhaq) “Kita bisa coba sendiri ya sebagai masyarakat, produk pangan lokal kita ada apa sih, lalu kita melestarikannya itu dengan mencoba memasaknya, terus kita menceritakan lagi, oh ada yang namanya ini, jamur pelawan,” tutur Malika sambil memasak lempah kulat pelawan bersama Chef Aziz. Tahun 2020, sebuah laporan hasil kerja 200 ilmuwan bertajuk “Kondisi Tumbuhan dan Jamur Dunia” memprediksi dua perlima tanaman secara global terancam punah. Ini tidak menutup kemungkinan berbagai jenis spesies jamur di Indonesia yang bahkan belum ditemukan, yang bisa saja diolah sebagai makanan, obat, maupun bahan bakar. “Bahkan mereka sudah punah sebelum kita kenal ini namanya apa sih, manfaatnya apa sih, dan laju kepunahannya tuh makin cepat. Sebetulnya agak khawatir ya dengan si jamur pelawan ini kalau situasinya terus-menerus seperti ini,” jelas Malika. Salah satu olahan jamur pelawan, Lempah Kulat Pelawan. (KBR/Hafizh Dhiyaulhaq) Jamur pelawan sendiri memiliki kondisi khusus di mana ia hanya akan tumbuh jika terjadi hujan yang sangat deras. Adanya tantangan dari pemanasan global mengancam keberlangsungan pertumbuhan jamur pelawan, karena kenaikan suhu satu derajat saja bisa menjadi masalah. Satu dekade lalu, jamur pelawan masih bisa diprediksi kapan tumbuhnya. Kini, waktu tumbuhnya semakin acak.  “Kalau demand-nya tinggi kan ketersediaan di pasar harus ada, dan itu jadi bikin kita mikir gimana caranya dia hadir di hutan itu, mudah ditemui, dan itu nggak ada cara lain selain kita menahan laju perubahan iklim ini,” ujar Malika. Malika sangat menyayangkan jika di masa depan, makanan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia hanya itu-itu saja akibat krisis iklim. Sebagai jurnalis, ia merasa bertanggung jawab untuk ikut menyuarakan fakta soal krisis iklim yang sedang terjadi, supaya semua pihak bisa mengambil peran. Cara paling mudah adalah dengan meragamkan isi piring dan mengikutsertakan pangan-pangan lokal dalam menu makan sehari-hari. “Makanan lokal kita tuh rata-rata slow food. Kita jadi lebih punya perhatian terhadap bagaimana ini diambil, ditumbuhkan, mungkin kita jadi lebih bijak sama makanan kita,” sebut Malika. *** Dengarkan podcast Planet Plate episode Lempah Kulat Pelawan bersama Chef Aziz Amri dan jurnalis KBR Media, Malika di sini. Kamu juga bisa ikut memasak ulang dengan mengikuti panduan resep ini. Kamu juga bisa mengirimkan foto dan cerita pengalaman hasil memasak resep ini ke sini.

Berkenalan Dengan Gembili Dalam Nasi Goreng Gembili Sambal Petai Gembili bukan nama yang populer dalam jajaran umbi-umbian. Jenis tumbuhan yang bentuknya menyerupai ubi jalar ini memang jarang ditemui di pasaran apalagi ditemukan dalam bentuk produk olahan pangan. Padahal jika dilihat dari kandungan gizinya, umbi gembili sangat mungkin diolah sebagai salah satu variasi atau alternatif pangan, selain beras.   Di episode kedua podcast Planet Plate, kami mencoba membuktikan hal itu. Berbekal tepung gembili yang berhasil kami temukan di salah satu toko daring, kami coba mengolahnya menjadi buliran seperti beras lalu mengolahnya dalam resep Nasi Goreng Gembili Sambal Petai.  Dan hasilnya, tidak mengecawakan!  Nah, ngomong-ngomong soal beras, pangan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat kita saat ini produksinya disebut semakin terancam di tengah kekeringan ekstrem. Hal itu dikarenakan tanaman padi membutuhkan banyak air selama fase pertumbuhannya. Perubahan iklim membuat puluhan ribu hektare lahan padi terancam gagal panen sebab terkena banjir ataupun kekeringan.  Penurunan produksi beras akibat kemarau berkepanjangan telah meningkatkan harga beras hingga rata-rata harganya mencetak rekor baru. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), per bulan Februari lalu, harga beras eceran mencapai Rp 15.157 per kilogram. Kemarau panjang atau El Nino telah menggerus 16,48 persen luas panen padi. Tahun lalu, luas panen padi mencapai 4,21 juta ha. Kini menyusut menjadi 3,52 juta ha. Menurut Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Ica Wulansari dalam podcast Planet Plate, pangan pokok di Indonesia perlu didiversifikasi demi menghadapi krisis beras. Salah satu pangan lokal khas Indonesia Timur yang punya potensi menjadi alternatif dari beras adalah gembili. Alasannya, gembili memiliki kandungan karbohidrat sebesar 27-37 persen.  Umbi  gembili ukurannya sebesar kepalan tangan orang dewasa, berwarna cokelat muda dan berkulit tipis. Dengan ukuran relatif kecil dan permukaan lunak, gembili dapat dikukus tanpa dikupas terlebih dahulu. (Shutterstock) “Sebenarnya gembili ini dari berbagai penelitian juga penggunaan airnya nggak terlalu sebanyak beras, sehingga berpeluang untuk menjadi pangan lokal yang bisa didiversifikasi selain pangan beras,” ujar Ica kepada Chef Aziz Amri. Gembili sendiri masih bisa ditemukan khususnya di Merauke, Papua. Suku Kanume memandang gembili sebagai tanaman sakral untuk acara adat. Gembili bisa direbus, dikukus, digoreng, dan dibakar. Tanaman ini juga kaya akan manfaat kesehatan, seperti bisa menurunkan total kolesterol, mengandung anti-kanker, dan menurunkan kadar glukosa darah. Sayangnya, kebijakan berasisasi yang dilakukan sejak zaman Orde Baru membuat masyarakat Indonesia bergantung pada beras. Padahal di setiap wilayah Indonesia punya pangan lokal yang biasa tumbuh di sana. Selain itu, terdapat persepsi bahwa beras merupakan “kasta tertinggi” dari pangan, dibandingkan pangan lokal lain seperti sagu dan gembili. Pemikiran ini justru akan merugikan warga lokal itu sendiri. Nasi goreng gembili sambal petai, salah satu olahan gembili. (KBR/Hafizh Dhiyaulhaq) “Tahun kemarin misalnya, kejadian kelaparan di Yahukimo. Itu kan kejadian yang menurut saya kelaparan itu seharusnya tidak terjadi. Tapi aksesibilitas itu kemudian menjadi terbatas karena tadi pangannya dibikin ekslusif,” jelas dosen sekaligus peneliti sosial-ekologi itu. Perubahan iklim semakin mendesak berbagai pihak untuk mulai mengambil aksi supaya pangan lokal kita berkelanjutan. Dalam penelitian Ica yang membahas bagaimana petani beradaptasi terhadap perubahan iklim, ia memaparkan bahwa petani memiliki pengetahuan tentang perubahan iklim, hanya saja menggunakan interpretasi mereka sendiri. Seperti petani di Indramayu, mereka mengenal istilah ceracak. “Ceracak itu misalnya dalam beberapa waktu, ketika musim hujannya itu jarang, ada hujan tapi cuma 1 hari 2 hari, kemudian tidak ada hujan lagi dalam waktu seminggu atau dua minggu. Jadi mereka punya kehati-hatian untuk tidak bertanam,” kata Ica. Tak hanya petani, masyarakat juga diharapkan bisa ikut berkontribusi dengan mulai mengonsumsi pangan lokal selain beras, seperti gembili. Hal ini akan mendorong petani untuk melihat peluang keuntungan dalam memproduksi pangan lokal. Apalagi gembili sangat berpotensi untuk dibudidayakan di daerah Jawa, Madura, Bali, dan Sulawesi bagian selatan. “Barangkali kita ke depan menghadapi krisis kekeringan panjang sehingga menyebabkan produksi berasnya menurun secara drastis, kita udah nggak ketakutan lagi. Kita sudah punya pangan pokok lainnya,” pesan Ica. ***Dengarkan podcast Planet Plate episode Nasi Goreng Gembili Sambal Petai bersama Chef Aziz Amri dan Dosen Prodi Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Ica Wulansari di sini. Kamu juga bisa ikut memasak ulang dengan mengikuti panduan resep ini. Kamu juga bisa mengirimkan foto dan cerita pengalaman hasil memasak resep ini ke sini.

Cerita di Balik Bandeng Bakar Lumpur Indonesia adalah negara produsen ikan yang menjanjikan. Dengan julukan negara maritim, tak heran jika ikan menjadi sumber protein yang melengkapi isi piring masyarakat kita. Salah satu jenis ikan yang paling digemari adalah ikan bandeng.Ikan air payau ini rasanya gurih dan mudah diolah dengan berbagai cara. Pulau Mengare, Gresik, Jawa Timur merupakan salah satu produsen ikan bandeng terbesar di Indonesia. Menurut Mongabay, bagian timur laut Jawa bisa menghasilkan sekitar 39.545 ton ikan bandeng per tahun, menciptakan putaran uang hingga ratusan juta per harinya. Bagi masyarakat pesisir, angka ini adalah hidup mereka. Pemimpin redaksi Iklimku.org, Ulet Ifansasti berbagi cerita kepada Chef Aziz Amri dalam podcast Planet Plate bagaimana krisis iklim memusnahkan 800 hektare tambak bandeng di Mengare. Liputan hasil kolaborasi dengan Greenpeace Indonesia itu mengungkap pahitnya kerugian yang harus ditanggung para petani bandeng imbas banjir rob akibat abrasi. Kawasan tambak bandeng yang rusak akibat abrasi di Mengare, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Minggu, 17 September 2023. (Iklimku/Idealita Ismanto) Liputan ini berdasarkan paparan petani bandeng senior di Mengare, Aribin, yang akrab disapa Cak Bin. Pria ini sudah menjalani profesi sebagai petani bandeng selama 50 tahun. Namun, banjir yang terjadi tahun 2022 adalah yang terburuk yang pernah ia saksikan. Aribin (60) berdiri di bagian tambak bandeng yang pernah dikelolanya dan kini rusak akibat abrasi di Mengare, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu, 11 Oktober 2023. (Iklimku/Idealita Ismanto) “Saat ini, wilayah pesisir Mengare itu kena dampak dari abrasi. Tambak-tambak itu kan ada posisinya di pinggiran ya, itu akhirnya tergerus terus akhirnya mereka sekarang punya luasan (tambak) yang tidak selebar dulu,” ujar Ulet.  Setelah kejadian ini, hasil panen bandeng menurun drastis. Sebelumnya Cak Bin bisa menghasilkan enam hingga delapan ton. Kini, hanya empat hingga lima ton bandeng. Pertumbuhan ikan juga kurang berkualitas. Ini lantaran praktik panen paksa. Biasanya mereka membudidayakan bandeng selama tujuh hingga delapan bulan, terpaksa dipersingkat menjadi enam bulan saja. Para petani terdorong melakukan praktik ini karena takut hasil panen keburu direnggut abrasi. Pulau Mengare terkenal atas bandeng-bandeng dengan kualitas terbaik. Setahun sebelum kejadian abrasi, Mengare mengadakan festival bandeng dimana bandeng-bandeng tersebut dilelang. “Ada satu rekor bandeng itu ada festival bandeng gitu. Tahun 2021 itu ada festival bandeng, berat bandeng itu bisa 6 sampai 6 setengah kilo.Terus pas dilelang, harganya 25 juta,” jelas Ulet sambil mengolah resep Ikan Bandeng Bakar Lumpur bersama Chef Azis Amri, Juni 2024 lalu. Sayangnya, menurut pengakuan Cak Bin, pemerintah tidak pernah menepati janji mereka untuk membangun pemecah ombak di Mengare. Alhasil, tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan tambak-tambak bandeng di sana. Dalam pantauan citra satelit, sebagian area Mengare sudah tenggelam.  Kawasan pesisir Desa Tanjung Widoro, Kabupaten Gresik, Jawa Timur yang semakin menghilang tiap tahunnya akibat kenaikan permukaan laut. (TheTreeMap/Nusantara Atlas) Ulet menjelaskan, para petani di daerah tidak memahami apa itu perubahan iklim. Mereka hanya mengenal tanda-tanda alam dan siklus pergantian musim. Mereka tidak sadar bahwa ini merupakan fenomena dan tantangan global yang sedang kita hadapi bersama. Satu hal yang Cak Bin takutkan, suatu hari nanti mungkin tambak bandeng Mengare hanyalah sebuah kisah. Ulet juga punya kekhawatiran serupa, “Ya aku cuma mikir generasi berikutnya aja gitu, kita masih bisa nikmatin alam tapi kayaknya egois banget cuma kami yang bisa nikmatin hari ini. Mereka (generasi selanjutnya) juga harus bisa nerima yang lebih baik atau bahkan setidaknya apa yang kita lihat saat ini,” tegas Ulet. (Nfs/mlk) ** Dengarkan podcast Planet Plate episode Bandeng Bakar Lumpur bersama Chef Aziz Amri dan editor in chief Iklimku, Ulet Ifansasti di sini. Kamu juga bisa ikut memasak ulang dengan mengikuti panduan resep ini. Kamu juga bisa mengirimkan foto dan cerita pengalaman hasil memasak resep ini ke sini.